POKEA-POKEA CINTA _POKEA-POKEA CINTA_POKEA-POKEA CINTA_POKEA-POKEA CINTA_POKEA-POKEA CINTA

Sabtu, 19 Mei 2012

Rekam Jejak Suku Taaluki di Kabupaten Muna

Taaluki, Suku Baru di Pedalaman Muna

Kabupaten Muna didiami beragam etnis. Salah satunya adalah suku Taaluki, yang berdiam di Desa Maligano, Kecamatan Maligano. Suku Taaluki memiliki tradisi dan bahasa yang berbeda dengan bahasa daerah manapun yang ada di Sultra. Bahasa Daerah Suku Taaluki jauh berbeda dengan Muna, Wolio, Tolaki, Kulisusu, Wawonii, Moronene maupun Bugis. Lalu, seperti apa bahasa daerahnya? Konon, suku Taaluki berasal dari Sulawesi Tengah. Leluhur mereka pernah memimpin Kesultanan Buton. Tiga generasi hidup di lingkungan Keraton Buton, mereka diusir dari lingkungan keraton oleh karena membangkang.

Kecamatan Maligano, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara terletak di bagian utara pulau Buton. Wilayah Maligano terpisahkan oleh lautan dengan Raha, ibukota Kabuapten Muna. Secara geografis masih satu daratan dengan Kabupaten Buton dan Buton Utara. Kecamatan Maligano terdiri dari enam desa, salah satunya adalah Desa Maligano.
   
Untuk mencapai Desa Maligano dari Kabupaten Muna, harus menggunakan kapal boat tradisional (orang lokal menyebut katinting). Lama perjalanan dari pelabuhan Laino di Kota Raha (ibukota Kabupaten Muna) satu jam setengah. Alternatif lain lewat darat via Baubau, Buton terus ke Butur selanjutnya masuk Maligano di Muna. dari Buton lalu menyisir jalan darat yang memakan waktu lebih lama dibanding via transportasi laut. Via Baubau-Buton-Butur kira-kira menghabiskan waktu satu hari penuh, sedangkan via pelabuhan Laino Raha sekitar 1,5 jam.
   
Desa Maligano dihuni oleh mayoritas suku Taaluki. Konon ceritanya mereka adalah penghuni pertama Maligano. Untuk mengorek informasi soal keberadaan suku Taaluki, cukup sulit. Beberapa narasumber yang ditemui koran ini, hampir tidak tahu sama sekali cerita asal muasala mereka sampai di Maligano. Setelah bertanya ke sana-kemari, koran ini dipertemukan dengan dua pria Taaluki bernama Samudi dan Aris Baaya. Samudi adalah guru sejarah di salah satu sekolah di Maligano dan Aris Baaya adalah Kepala Desa Maligano.
   
Kedua orang tersebut memiliki cerita yang berbeda soal keberadaan Suku Taaluki di Maligano. Kesamaan cerita mereka bahwa suku Taaluki berasal dari Kaili dan terusir dari wilayah Kesultanan Buton beratus tahun lalu. "Suku Taaluki awalnya berdiam di Buton," kata Samudi.
   
Suku Taaluki merupakan bagian dari etnis Buton. Meski bagian dari etnis Buton, Taaluki memiliki bahasa yang tidak sama dengan Buton, disebut bahasa Taluk. "Kalau budaya dan tradisi ada kemiripan," timpalnya.
   
Menurut cerita yang Ia dengar dari orang tuanya,  suku Taaluki merupakan pendatang dari Sulawesi Tengah, tepatnya wilayah Kaili (Bungku). Kala itu mereka meninggalkan kampung halaman (kaili, red) menuju Buton, karena dilanda perang. "Entah dengan suku apa perangnya," kata pria bercambang itu. Bagi yang kalah perang,  dalam bentuk kelompok meninggalkan Kaili menuju ke Buton. Nama Taaluki sendiri memiliki arti orang yang kalah atau yang ditaklukan lawan. "Makanya disebut suku Taaluki," sebutnya.

   
Di Buton mereka berdiam di Desa Wakalambe, yang terletak di Kecamatan Kapuntori. Latar belakang sehingga sampai di Maligano, karena tidak mau tunduk dengan perintah Sultan Buton, juga karena saat itu di Wakalambe terdapat wabah penyakit.
  
Tahun 1906, orang Taaluki yang tidak tunduk terhadap perintah Sultan Buton bersama dengan suku Koroni menyusuri daratan Buton. "Taaluki dan Koroni memiliki kesamaan bahasa," tuturnya. Tiba di daerah Koroni, mereka menemukan kali dan mandi di tempat itu. Lokasi tersebut kemudian dikenal dengan nama Desa Lakoroni, Kabupaten Muna. "La" artinya kali. Suku Koroni kemudian berdiam di wilayah itu.
   
Sementara orang Taaluki kembali melanjutkan perjalanan menyusuri daratan Buton. Mereka kemudian menemukan kali besar yang diberi nama Laeya. "Laeya artinya kali besar," kata Samudi. Pertimbangan wilayah itu tidak cocok dijadikan perkampungkan, mereka kembali melanjutkan perjalanan sampai ke kali Motewe (Maligano,red). Disebut kali motewe karena airnya tawar. "Maligano dulu namanya kampung Motewe. Nanti setelah kemerdekaan diganti bernama Maligano," ceritanya.
  
Di kampung Motewe sudah didiami oleh penduduk, namun jumlahnya tidak banyak. Suku Taaluki kemudian membangun perkampungan dan menjadi warga mayoritas di desa tersebut sampai saat ini.
   
Cerita Aris Baaya, Kades Maligano yang berasal dari Suku Taaluki, lain lagi. Versi dia, keberadaan suku Taaluki bermula dari pria La Baluwu yang berasal dari Kaili yang berkelana sampai ke Buton. La Baluwu kemudian menikahi dengan putri keluarga kesultanan Buton bernama Bulawambona. Dari keturunan pasangan tersebut terbentuk satu etnis yang dikenal suku Taaluki.
   
Keturunan dari La Baluwu yang menetap di lingkungan keraton Buton, tidak tunduk terhadap perintah Sultan Buton. Mereka ingin merebut kekuasaan dengan pedang besar yang disebut dengan "Ta". Taluki memiliki arti menaklukan keraton Buton dengan parang besar. Upaya itu tidak berhasil, sehingga keturunan La Baluwu diusir dari lingkungan keraton dan "diungsikan" di Desa Wakalambe dan sebahagian lagi menyusuri daratan Buton sampai ke Maligano. "Sebanyak tiga generasi suku Taaluki ini menetap di lingkungan keraton Buton. Setelah tiga generasi, Taaluki diusir dari keraton menuju Desa Wakalambe dan Maligano. Saya termasuk generasi ketiga atau keempat di Maligano. Kalau dihitung sejak dari Keraton Buton, kami generasi ke enam atau ketujuh," begitu cerita Aris Baaya.
  
Di Maligano menurut Aris Baaya,  orang Taaluki merupakan yang pertama mendiami wilayah yang dulu bernama kampung Motewe.  "Di Maligano, saat ini kami sudah generasi ke enam," ungkapnya. Sehingga cerita tentang keberadaan mereka, generasi diatasnya sudah tidak tahu menahu lagi. "Sudah sulit untuk mendapatkan orang yang tahu cerita keberadaan kami di Maligano," sambungnya.
   
Begitupula Samudi. Ia menyarankan, untuk mendapatkan cerita tentang keberadaan suku Taaluki, agar berkunjung ke Desa Wakalambe, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton. "Disana ada orang tua kami, yang mungkin lebih paham tentang latar belakang keberadaan Taaluki di Buton dan Muna," saranya. Menurut Aris Baaya, suku Taaluki di Maligano sekitar 300 KK sedangkan di Desa Wakalambe sekitar 60 KK.
 
Di Sungai Motewe Membangun Peradaban

Setelah berjalan menyusuri daratan Buton, suku Taaluki tiba di kali berair tawar yang mereka beri nama kali Motewe. Orang Taaluki kemudian menetap dan membangun pemukiman di wilayah tersebut. Kini di kampung yang berganti nama menjadi Maligano itu,  keturunan suku Taaluki sudah masuk generasi ke enam.

Ketika tiba di kali Motewe di tahun 1906, kondisi alam masih hutan belantara. Bukan perkara mudah untuk bisa bertahan hidup di alam yang masih liar. Kelompok suku Taaluki kemudian membangun perkampungan, yang awalnya di sekitar kali  Motewe. "Diberi nama sungai Motewe, karena airnya tawar. "Motewe" dalam bahasa Taaluki berarti tawar. Dari nama sungai tersebut, daerah tempat suku Taaluki berdiam disebut kampung Motewe," tutur Samudi.

Pergantian nama kampung Motewe menjadi Maligano dilakukan setelah Indonesia merdeka. Nama Maligano sendiri, menurut cerita Samudi, diambil dari kisah perjalanan tokoh spritual dari Arab yang datang menyebarkan agama Islam. "Namanya Syeh Abdurrahman," sebutnya. Konon, ada yang melihat Syeh Abdurrahman melakukan perjalanan dari Motewe ke Buton dengan menggunakan perahu. Dua kali mendayung perahu, sudah sampai ke Buton. Masyarakat Taaluki menyebutnya Maligano artinya yang tercepat atau dalam bahasa Muna "merimbano".

Saat keluar dari lingkungan keraton Buton menuju Desa Wakalambe dan Maligano suku Taaluki sudah menganut agama Islam.

Sebelum membangun perkampungan di sekitar kali Motewe,  suku Taaluki menggelar ritual mengusir roh jahat. Ritual yang dilakukan adalah tahlilan (dzikir) keliling kampung selama empat hari empat malam. "Dimulai dari hari Senin dan berakhir malam Jum'at. Dzikir keliling ditutup dengan mandi di kali Motewe secara massal," ceritanya.

Mandi di kali memiliki makna membersihkan diri dari roh jahat. Sampai saat ini, orang Taaluki masih mempertahankan tradisi itu. Setiap kali terjadi bencana  seperti wabah penyakit atau bencana lainnya, dilakukan dzikir keliling atau tahlilan di masjid selama empat hari.

Setelah membersihkan kampung dari roh jahat, suku Taaluki kemudian membuka lahan perkebunan, ada juga yang menjadi nelayan untuk mempertahankan hidup. "Di sini warga Taaluki dominan berkebun dan menjadi nelayan. Nelayan karena tinggal di pesisir laut," ujar pria bercambang tersebut.
Untuk membuka lahan baru atau menyambut pergantian musim barat dan timur suku Taaluki memiliki tradisi sendiri. Kata Samudi, ritual membuka lahan baru sama dengan suku Muna, hanya yang membedakan soal bahasa mantra. "Kita menyebutnya bhatata," sebutnya. Maksud dilakukan ritual agar hasil panen melimpah. Tanaman yang ditanam kala itu, umbi-umbian serta jagung.

Begituhalnya saat pergantian musim dari musim barat ke musim timur, orang Taaluki menggelar dzikir keliling kampung. Maknanya membersihkan kampung dari roh jahat. Ritual tersebut kini sudah memudar. Kecuali ritual membuka lahan baru, yang sampai hari ini masih dipertahankan.

Dalam setiap ritual yang dilakukan, dipimpin oleh imam yang diangkat oleh warga Taaluki. Imam ini yang kemudian, menjadi panutan masyarakat. Selain imam, dulu kampung Motewe dipimpin oleh Bhonto atau kepala kampung. Selain Bhonto masih ada lagi yang dituakan yang disebut Mokole.  "Mokole itu kalau di Buton, statusnya seperti Lakina," sambung Aris Baaya, Kades Maligano.

Bahasa Mirip Tolaki, Tradisi Mirip Muna
Keturunan suku Taaluki di Maligano, Kabupaten Muna semakin berkembang. Kini ada sekitar 200 KK suku Taaluki asli di kampung yang dulu bernama Motewe tersebut. Jumlah tersebut makin bertambah, bila dihitung dengan keturunan suku Taaluki yang berasal dari perkawinan campuran. Di sisi lain dengan makin berkembang pesatnya suku Taaluki, tradisi dan budaya mereka ikut tergerus zaman.
Awaluddin Usa, Raha

Dalam kehidupan masa lalu suku Taaluki, Mokole, Bhonto dan Iman memiliki peranan besar dalam kehidupan masyarakat. Ketiga orang yang menempati struktur tertinggi dalam masyarakat Taaluki mengatur dan menjadi panutan masyarakat. "Setiap keputusan senantiasa melalui pertimbangan Mokole, Bhonto dan Iman," tutur Aris Baaya.
   
Untuk membedakan ketiga orang yang dalam struktur suku Taaluki menempati derajat tinggi, dilihat dari rumahnya. Kata Samudi, bila didepan rumah terdapat teras yang disebut Galampa, maka itu adalah rumah para tetua adat suku Taaluki. Teras rumah tersebut menjadi tempat melayani masyarakat, mengambil keputusan atau menyelesaikan masalah di kampung saat itu.
  
Kemudian dalam strata suku Taaluki, memiliki kesamaan dengan Muna. Dalam strata mereka terdapat juga kaomu dan walaka. "Suku kami hanya mengenal dua strata kaomu dan walaka," ujar Samudi. Mokole masuk golongan Kaomu. Dalam penamaan pun sama, menggunakan La Ode untuk laki-laki dan Wa Ode untuk perempuan.
   
Seiring perkembangan zaman, ketiga jabatan tersebut dalam struktur Suku Taluki sudah tidak ada lagi. "Sebutan Bhonto, Mokole dan Imam, hanya bertahan sampai generasi ke empat Taluki  di Maligano," sambung Aris Baaya lagi.  Pria yang saat ini menjabat sebagai Kades Maligano itu dan merupakan keturunan generasi ke enam Suku Taaluki, tidak tahu jawaban pastinya. Jawaban rasional yang diberikan, generasi muda Taaluki yang enggan meneruskan tradisi tersebut atau pengaruh dari faham demokrasi yang sudah masuk di desanya.
  
Begituhalnya tradisi suku Taaluki pun perlahan ikut memudar. Tradisi dzikir keliling kampung yang biasa dilakukan saat pergantian musim, memang masih dipertahankan. Namun konteksnya kini berbeda. "Kita hanya tahlilan saja di masjid," ungkap Aris Baaya. Mandi di kali Motewe usai berdzikir, kini sudah jarang dilakukan.
   
Yang tersisa dari tradisi suku Taaluki di Maligano, menurut pria yang hampir satu periode menjabat Kades tersebut, tradisi membuka lahan baru, adat perkawinan dan Taluk (bahasa daerah Taaluki). Membuka lahan baru tradisinya sama dengan suku Muna, yang membedakan adalah bahasa mantranya. "Mantranya kita menggunakan bahasa Taaluki," sebutnya.
   
Untuk tradisi perkawinanpun sudah terpengaruh dengan budaya Muna. Kalau dulu dalam perkawinan suku Taaluki, adatnya dihitung dengan uang ringgit, di Muna disebut boka. "Saat ini bisa menggunakan ringgit, bisa juga menggunakan boka," ujar Aris Baaya.
   
Yang membedakan, kata Samudi, soal tata cara pelamaran. Kalau orang Taaluki melamar disebut "mekapanga", dengan menyerahkan uang ringgit. Kalau uang ringgitnya dikembalikan, berarti lamaran ditolak. Begitu sebaliknya.
   
Untuk bahasa Taluk, masih menjadi bahasa komunikasi sehari-hari warga Taaluki. "Kalau sesama orang Taaluki, kita menggunakan bahasa Taluk. Kalau dengan orang Muna, kita gunakan bahasa Muna. Namun paling sering menggunakan bahasa Indonesia," ujarnya. Bahasa Taluk berbeda dengan bahasa Muna, Buton dan Bugis. Ia mencontohkan kalimat "mau kemana" lebih memiliki kesamaan dengan bahasa daerah Tolaki ketimbang Muna atau Buton. "Mau ke Mana" dalam bahasa Taluk "mantau lako", bahasa Tolaki "Mbe Lakoamu", bahasa Buton "yapau linka", bahasa Muna "okumala nehamai".
   
Saat ini keturunan generasi ke enam suku Taluki asli di Maligano, kata Kades Maligano, Aris Baaya, lebih kurang 200 KK. Kalau ditambah dengan keturanan dari perkawinan campuran ada sekitar 300 KK. Keturunan suku Taaluki yang berasal dari Maligano, sudah menyebar ke wilayah lain. Bahkan diantara mereka, menduduki jabatan struktural di pemerintahan. Namun paling dominan masyarakat Taaluki bekerja di kebun atau nelayan, ada juga sebagai pemecah batu di sungai Motewe.
 
 (http://www.kendarinews.com/news/index.php?option=com_content&task=view&id=23620&Itemid=35)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar