Lukman terduduk lemas di pos satpam. Guru fisika yang sudah
delapan tahun jadi honorer ini meradang. Lima belas menit yang lalu ia
dipanggil menghadap di ruangan kepala sekolah, terkait laporan dari
beberapa oknum guru akan aktifitasnya.
“Kenapa, Man..? masih pagi-pagi tapi mukamu sudah kusut sekali bela.
Tadi malam tidak dapat jatah kah..? Hahaha..” Jon, satpam sekolah,
mencoba menghibur, tapi tampaknya gagal. Lukman menghela nafas.
“Ndataumi itu la botak. Kenapa dia sentimen sekali sama saya..” jawabnya lirih.
“Merokok-merokok dulu pale, pemain band..!” tawar Jon, sembari menyodorkan sebungkus jisamsu. “Makasih ces, lamami sa berhenti” tepisnya.
“Merokok-merokok dulu pale, pemain band..!” tawar Jon, sembari menyodorkan sebungkus jisamsu. “Makasih ces, lamami sa berhenti” tepisnya.
Tawaran rokok itu walau tak bersambut
setidaknya berhasil mencairkan suasana. Tak butuh waktu lama buat Lukman
untuk meledakkan endapan kesalnya.
“Sa heran. Sa dilarang bisnis MLM..” curhat Lukman. “Katanya mengganggu aktifitas belajar mengajar, padahal sa tidak pernah ji memprospek kalo jam mengajar”. jelasnya kemudian berapi-api. Jon mendengarkan dengan seksama.
“Sa heran. Sa dilarang bisnis MLM..” curhat Lukman. “Katanya mengganggu aktifitas belajar mengajar, padahal sa tidak pernah ji memprospek kalo jam mengajar”. jelasnya kemudian berapi-api. Jon mendengarkan dengan seksama.
“Baru enjel sekali itu orang. Saya ji yang dia larang. Sementara bu
Yuni yang bisnis Sopimartin tidak pernah disinggung-singgung. Malahan bu
Kristin pernah dia bongkar jualan taperwer-nya di dalam ruang tata
usaha. Adaji itu la botak, tapi dia lihat-lihat saja sambil
senyum-senyum. Huh, dasar mati kiri..!” dengusnya.
“yang sa tidak bisa terima, masa’ dia suruh saya pilih, mau jadi guru
atau penjual obat. Sakit hatiku pa’. Sa merasa terhina sekali”
lanjutnya.
Jon menepuk-nepuk pundak Lukman, menenangkan. “Keras kehidupan, teman..! Ko sabar saja..!”
“Iyo, enakji kau bicara begitu. Karena ko sudah PNS..! Honorer kayak saya ini setengah mati kasian, kalo tidak pintar-pintar cari sampingan, apa kita mau kasih makan anaknya orang di rumah..?”
“Eee, jangan salah omong ko, teman..! Ko kirakah PNS tidak ada susahnya..? apalagi cuma satpam ji..!”
“Iyo, tapi kan enakji ada gaji tetap yang kotunggu-tunggu tiap bulan..!”
“Aleee.. kunae..! enak apanya..! gajiku minus, sudah dipotong adira, cicilan BTN, sama kasbon di koperasi..! Belum lagi utang nasi kuning di kantinnya mamanya Sege. Kalo tanggal tua begini bengkokmi mukanya itu orang tua kalo dia lihat mukaku. Hahahaeeee..” Jon tergelak, membongkar aibnya sendiri. Sebaris senyum toleransi ikut mengembang dari bibir Lukman.
“Eh, ngomong-ngomong betulkah itu dia bilang kepala sekolah ko menjual obat..? ngeri juga kau, teman..!”
“Bukan obat, ces..!” Lukman membela diri. “ini namanya suplemen makanan..!” seraya membuka resleting tasnya, memilah-milah isinya, lalu mengeluarkan setumpuk buku bergambar. Jon melirik, tampak di dalam tas beberapa botol plastik produk kesehatan herbal.
“Jadi begini, ces.. ” Lukman mulai memasang mimik wajah serius, sedikit melembutkan intonasi suara, mencoba menciptakan kesan wibawa. “Jadi sebenarnya, pikiran manusia itu mempengaruhi jalan hidup. Kalo kita berpikir positif, maka hasilnya akan positif. Tapi kalo kita berfikir negatif, hasilnya juga negatif”
Jon mengernyit, mulai membaca gelagat tak beres. Lukman membuka bukunya, terlihat gambar sebuah mobil sedan mengkilap.
“ko mau mobil begini..?” tunjuknya serius.
“Hahahaha…!” meledak tiba-tiba tawa Jon, tak ubahnya tawa artis Anggun C.Sasmi dalam sebuah iklan sampo. “jangko mimpi pagi-pagi, teman..!”
“Eeh, jangan salah ces..! sembilan puluh persen kesuksesan itu dimulai dari mimpi. Yang sepuluh persennya adalah teknis..!”
“Aleee.. sudahmi kunae ingkaaa..! jangan ko coba-coba prospek saya..! tidak mempan..!”
“nah, itu berarti kamu orangnya negatif, ces..! Karena belum apa-apa sudah berpikir negatif..!”
“Haha, terserahmi..! sa tidak mauji punya mobil. Makan ongkos..! Cukupmi saja motor supraku yang diongkosi karena sudah dua kali turun mesin..!”
Jon menepuk-nepuk pundak Lukman, menenangkan. “Keras kehidupan, teman..! Ko sabar saja..!”
“Iyo, enakji kau bicara begitu. Karena ko sudah PNS..! Honorer kayak saya ini setengah mati kasian, kalo tidak pintar-pintar cari sampingan, apa kita mau kasih makan anaknya orang di rumah..?”
“Eee, jangan salah omong ko, teman..! Ko kirakah PNS tidak ada susahnya..? apalagi cuma satpam ji..!”
“Iyo, tapi kan enakji ada gaji tetap yang kotunggu-tunggu tiap bulan..!”
“Aleee.. kunae..! enak apanya..! gajiku minus, sudah dipotong adira, cicilan BTN, sama kasbon di koperasi..! Belum lagi utang nasi kuning di kantinnya mamanya Sege. Kalo tanggal tua begini bengkokmi mukanya itu orang tua kalo dia lihat mukaku. Hahahaeeee..” Jon tergelak, membongkar aibnya sendiri. Sebaris senyum toleransi ikut mengembang dari bibir Lukman.
“Eh, ngomong-ngomong betulkah itu dia bilang kepala sekolah ko menjual obat..? ngeri juga kau, teman..!”
“Bukan obat, ces..!” Lukman membela diri. “ini namanya suplemen makanan..!” seraya membuka resleting tasnya, memilah-milah isinya, lalu mengeluarkan setumpuk buku bergambar. Jon melirik, tampak di dalam tas beberapa botol plastik produk kesehatan herbal.
“Jadi begini, ces.. ” Lukman mulai memasang mimik wajah serius, sedikit melembutkan intonasi suara, mencoba menciptakan kesan wibawa. “Jadi sebenarnya, pikiran manusia itu mempengaruhi jalan hidup. Kalo kita berpikir positif, maka hasilnya akan positif. Tapi kalo kita berfikir negatif, hasilnya juga negatif”
Jon mengernyit, mulai membaca gelagat tak beres. Lukman membuka bukunya, terlihat gambar sebuah mobil sedan mengkilap.
“ko mau mobil begini..?” tunjuknya serius.
“Hahahaha…!” meledak tiba-tiba tawa Jon, tak ubahnya tawa artis Anggun C.Sasmi dalam sebuah iklan sampo. “jangko mimpi pagi-pagi, teman..!”
“Eeh, jangan salah ces..! sembilan puluh persen kesuksesan itu dimulai dari mimpi. Yang sepuluh persennya adalah teknis..!”
“Aleee.. sudahmi kunae ingkaaa..! jangan ko coba-coba prospek saya..! tidak mempan..!”
“nah, itu berarti kamu orangnya negatif, ces..! Karena belum apa-apa sudah berpikir negatif..!”
“Haha, terserahmi..! sa tidak mauji punya mobil. Makan ongkos..! Cukupmi saja motor supraku yang diongkosi karena sudah dua kali turun mesin..!”
“Hepuuu.. negatif betul kau, ces..!” Cibir Lukman. Debat kusir di pos
satpam tampaknya akan memanjang, jika saja nyaringnya suara bel apel
pagi tak menghentikan.
Sementara itu tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan gerak-gerik mereka dari balik jendela.
Sementara itu tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan gerak-gerik mereka dari balik jendela.
“Hmmm.. Apa lagi dia bikin itu orang di sana. Jangan-jangan dia jual
obat lagi sama satpam. Sa sudah marahi ternyata ndada tobat-tobantnya..”
gerutu si pengintip, seraya mengambil sisir kecil dari saku celana
belakang, dan mulai menyisir helai demi helai rambutnya yang bisa
dihitung dengan jari-jari tangan. Mirip hutan jati yang dihantam illegal
logging.
***
Lukman naik pitam. Baru pulang dari mengajar, didapatinya Afgan, anak
lelaki semata wayangnya bertengger di atas atap rumah kontrakannya,
sambil menangis meraung-raung.
“Apa kobikin di situ, Bio..? Turunko..! kalo ko jatuh, picca kepalamu, uang lagi..!” Lukman melambaikan tangannya. “mana mamamu..?” tanyanya kemudian.
“imama dia pukul kakiku pake sapu sampe biru..!” adu anak usia lima tahun itu tersedu-sedu, enggan turun dari tempatnya.
“heh, kenapa bisaaa..?” Lukman bertanya sedikit berteriak. Tanpa menunggu jawaban ia tergopoh-gopoh masuk ke rumah. “Tinaaaa..! O’Tinaaaa..!!” teriaknya. Namun tak ditemuinya istrinya, hingga seluruh penjuru ruangan. Lukman pun berinisiatif menelpon.
“Hey ko dimana..! kenapa ko tinggalkan anakmu sendirian di rumah..!” semprotnya ketika panggilan tersambung.
“ko tanya sendiri anakmu kenapa satinggalkan..!” istrinya menjawab tak kalah ketus.
“Kenapakah dia..? Kopukul katanya..?” berondongnya lagi.
“Siapa suruh dia pukul anaknya tetangga gara-gara tidak dikasih pinjamkan sepeda..!”
Lukman terhenyak. Ia kehilangan kata-kata. Bagaimanapun ini semua tak lepas dari kesalahannya. Afgan sudah sekian lama merengek minta dibelikan sepeda sebagaimana anak-anak seusianya. Tapi hanya janji-janji yang bisa diberi bapaknya.
“Kenapa ko diam..? habis pulsamu, hae..!”
“Eeh, tidak ji..! Ko di manakah sekarang..?”
“Sa lewat tadi depan rumahnya Tanta Ati, sa dipanggil mosonggi..!
“okemi, jangko lama pale. Sa lapar ini..!”
“Ndadami nasi, ko masak indomi saja nah..?
“klik” Lukman mematikan henponnya dongkol. Berjalan gontai ia kembali keluar halaman.
“turunmi nak..! sa sudah marahimi mama..!” bujuknya kemudian.
“nda’mau..! sa ndamau turun..! belikanka dulu sepeda..!” sahut Afgan, keras kepala. Lukman menghela nafas panjang.
“Kalo kita nda belikanka sepeda, sa lompat dari atas sini..!” ancam Afgan lagi.
“lompatmi pale, nak..! kalo ko berani, sa belikanko motor..!” balas Lukman kesal sambil berjalan masuk ke rumah.
“Apa kobikin di situ, Bio..? Turunko..! kalo ko jatuh, picca kepalamu, uang lagi..!” Lukman melambaikan tangannya. “mana mamamu..?” tanyanya kemudian.
“imama dia pukul kakiku pake sapu sampe biru..!” adu anak usia lima tahun itu tersedu-sedu, enggan turun dari tempatnya.
“heh, kenapa bisaaa..?” Lukman bertanya sedikit berteriak. Tanpa menunggu jawaban ia tergopoh-gopoh masuk ke rumah. “Tinaaaa..! O’Tinaaaa..!!” teriaknya. Namun tak ditemuinya istrinya, hingga seluruh penjuru ruangan. Lukman pun berinisiatif menelpon.
“Hey ko dimana..! kenapa ko tinggalkan anakmu sendirian di rumah..!” semprotnya ketika panggilan tersambung.
“ko tanya sendiri anakmu kenapa satinggalkan..!” istrinya menjawab tak kalah ketus.
“Kenapakah dia..? Kopukul katanya..?” berondongnya lagi.
“Siapa suruh dia pukul anaknya tetangga gara-gara tidak dikasih pinjamkan sepeda..!”
Lukman terhenyak. Ia kehilangan kata-kata. Bagaimanapun ini semua tak lepas dari kesalahannya. Afgan sudah sekian lama merengek minta dibelikan sepeda sebagaimana anak-anak seusianya. Tapi hanya janji-janji yang bisa diberi bapaknya.
“Kenapa ko diam..? habis pulsamu, hae..!”
“Eeh, tidak ji..! Ko di manakah sekarang..?”
“Sa lewat tadi depan rumahnya Tanta Ati, sa dipanggil mosonggi..!
“okemi, jangko lama pale. Sa lapar ini..!”
“Ndadami nasi, ko masak indomi saja nah..?
“klik” Lukman mematikan henponnya dongkol. Berjalan gontai ia kembali keluar halaman.
“turunmi nak..! sa sudah marahimi mama..!” bujuknya kemudian.
“nda’mau..! sa ndamau turun..! belikanka dulu sepeda..!” sahut Afgan, keras kepala. Lukman menghela nafas panjang.
“Kalo kita nda belikanka sepeda, sa lompat dari atas sini..!” ancam Afgan lagi.
“lompatmi pale, nak..! kalo ko berani, sa belikanko motor..!” balas Lukman kesal sambil berjalan masuk ke rumah.
Di meja dapur didapatinya tudung saji tak berisi. Tak ada sebutir
nasipun yang tersisa. Di meja ruang tamu sebenarnya ada pisang goreng
keju sisa cemilan pagi yang sudah dingin dan mengeras, tapi hampir
seluruh permukaan dirubung semut.
“betul-betul i’Tina. Dia lupa lagi kasih kapur semut. Bagaimana
kasian kita mau makan ini” gerutunya, sembari mencabut-cabut satu
persatu semut yang menempel di atas pisang goreng, meniup-niup sebentar,
lalu menyantapnya getir. Afgan pun mengendap-endap turun dari atas
atap.
Malam harinya, sisa mendung kekesalan masih menggelayut di wajah Lukman. Tidurnya membelakangi istri.
“Pah, kolihat tadi mobil Honda Jazz baru di depan rumahnya haji Dahlan..?” Tina, istrinya, membuka percakapan.
“Hmm.. sa tidak perhatikan..” Lukman merespon seadanya.
“dia ganti lagi tauwwa mobilnya itu orang tua. soalnya mobil lamanya sudah mulaimi tapo-tapo katanya..”
Malam harinya, sisa mendung kekesalan masih menggelayut di wajah Lukman. Tidurnya membelakangi istri.
“Pah, kolihat tadi mobil Honda Jazz baru di depan rumahnya haji Dahlan..?” Tina, istrinya, membuka percakapan.
“Hmm.. sa tidak perhatikan..” Lukman merespon seadanya.
“dia ganti lagi tauwwa mobilnya itu orang tua. soalnya mobil lamanya sudah mulaimi tapo-tapo katanya..”
Lukman mendengus, menyadari tak pentingnya arah pembicaraan.
“Kalo Om Arif, tetangga samping rumah, kemarin dia ganti televisinya. Yang LCD pa, besarnya kayak bioskop. Soalnya televisi yang lama terlalu kecil dia bilang..” Tina terus mengoceh.
“Eeh, Pak Idrus juga pale” lanjutnya lagi. “yang tinggal di depan lorong itu, baru-baru dia ganti motornya. Motor satria lamanya terlalu boros bensin katanya”.
Lukman mulai sebal. “Ko tau Daeng Jara’, yang tinggal di dekat jalan raya..?” ia balas bertanya. Tina mengernyit.
“Minggu lalu Daeng Jara’ dia ganti istrinya karena terlalu cerewet..! mauko juga..?”
“bukkk..!!” sebuah hantaman bantal guling tak pelak mendarat keras di kepala Lukman.
“Kalo Om Arif, tetangga samping rumah, kemarin dia ganti televisinya. Yang LCD pa, besarnya kayak bioskop. Soalnya televisi yang lama terlalu kecil dia bilang..” Tina terus mengoceh.
“Eeh, Pak Idrus juga pale” lanjutnya lagi. “yang tinggal di depan lorong itu, baru-baru dia ganti motornya. Motor satria lamanya terlalu boros bensin katanya”.
Lukman mulai sebal. “Ko tau Daeng Jara’, yang tinggal di dekat jalan raya..?” ia balas bertanya. Tina mengernyit.
“Minggu lalu Daeng Jara’ dia ganti istrinya karena terlalu cerewet..! mauko juga..?”
“bukkk..!!” sebuah hantaman bantal guling tak pelak mendarat keras di kepala Lukman.
***
“Sa pusing istriku bela, akhir-akhir ini tambah bergaya. Selera
tinggi ekonomi lemah..!” curhat Lukman pada Jon, saat rehat makan di
kantin belakang sekolah.
“Hati-hatiko, teman..! biasanya kalo istri mulai lain-lain, berarti ada apa-apanya itu” petuah Jon.
“Iyo di..? sa mulai curiga juga. Sering sekalimi dia bohongi saya”. Lukman menuntaskan kunyahan terakhirnya, lalu menenggak segelas air.
“Kemarin ndada di rumah, dia bilang sementara mosonggi di rumahnya tantenya” lanjutnya. “Eeh, ternyata dia ada di Salon dalam pasar sentral..!”
Jon tersenyum geli.
“iyo pa, sa kasih uang untuk beli beras, eeh dia pake bonding rambutnya..!”
“Hahaha.. Met nah..” Jon tergelak.
“Dia koleksi tas hermes dengan kawat gigi, sementara kita koleksi utang di mana-mana..”
Jon terbahak-bahak.
“Kalo begitu kaumi yang introspeksi, teman..! itu berarti ko tidak bisa penuhi kebutuhannya..!”
“Kebutuhan apanya..? dia ji yang ndamau sabar..! padahal kalo dia mau sabar, bisnis MLM-ku ini bisa menghasilkan mobil mewah dengan kepal pesiar..!
“Kapanmi itu katanya..? sudah lima tahun komorang kawin, motormu saja belum lunas cicilannya..! Hahaha..!”
“Nah, itumi kau ces, sama ji istriku. Selalu negatif..!”
“Dari kemarin bicaramu positif negatif terus, kayak tukang listrik saja..!”
Jon berjalan mendekati meja kasir, meja di mana seorang ibu paruh baya sibuk menghitung uang recehan.
“Kasih masuk di bon-ku nah Tanta.. Akhir bulan ini sakasih lunas semua..!”
“Hepuuu… bon terus..! Bulan depan sa tidak maumi hae, terima bon..!” gerutu ibu pemilik kantin.
“Jadi biar Bon Jovi, kita tidak terima juga..?”
“He’e.. siapa itu..?”
“Artis barat. Mirip-mirip ji mukaku Tanta..! hahaha..!” pemilik kantin pun melengos jijik.
Masih ada waktu sepuluh menit hingga waktu istirahat usai. Jon dan Lukman berjalan memasuki pagar sekolah. Langkah mereka terhenti ketika sesosok wanita muda tampak keluar tergopoh-gopoh dari ruangan kepala sekolah. Jon dan Lukman berpandangan, tak pernah mereka lihat wanita itu sebelumnya.
“Hati-hatiko, teman..! biasanya kalo istri mulai lain-lain, berarti ada apa-apanya itu” petuah Jon.
“Iyo di..? sa mulai curiga juga. Sering sekalimi dia bohongi saya”. Lukman menuntaskan kunyahan terakhirnya, lalu menenggak segelas air.
“Kemarin ndada di rumah, dia bilang sementara mosonggi di rumahnya tantenya” lanjutnya. “Eeh, ternyata dia ada di Salon dalam pasar sentral..!”
Jon tersenyum geli.
“iyo pa, sa kasih uang untuk beli beras, eeh dia pake bonding rambutnya..!”
“Hahaha.. Met nah..” Jon tergelak.
“Dia koleksi tas hermes dengan kawat gigi, sementara kita koleksi utang di mana-mana..”
Jon terbahak-bahak.
“Kalo begitu kaumi yang introspeksi, teman..! itu berarti ko tidak bisa penuhi kebutuhannya..!”
“Kebutuhan apanya..? dia ji yang ndamau sabar..! padahal kalo dia mau sabar, bisnis MLM-ku ini bisa menghasilkan mobil mewah dengan kepal pesiar..!
“Kapanmi itu katanya..? sudah lima tahun komorang kawin, motormu saja belum lunas cicilannya..! Hahaha..!”
“Nah, itumi kau ces, sama ji istriku. Selalu negatif..!”
“Dari kemarin bicaramu positif negatif terus, kayak tukang listrik saja..!”
Jon berjalan mendekati meja kasir, meja di mana seorang ibu paruh baya sibuk menghitung uang recehan.
“Kasih masuk di bon-ku nah Tanta.. Akhir bulan ini sakasih lunas semua..!”
“Hepuuu… bon terus..! Bulan depan sa tidak maumi hae, terima bon..!” gerutu ibu pemilik kantin.
“Jadi biar Bon Jovi, kita tidak terima juga..?”
“He’e.. siapa itu..?”
“Artis barat. Mirip-mirip ji mukaku Tanta..! hahaha..!” pemilik kantin pun melengos jijik.
Masih ada waktu sepuluh menit hingga waktu istirahat usai. Jon dan Lukman berjalan memasuki pagar sekolah. Langkah mereka terhenti ketika sesosok wanita muda tampak keluar tergopoh-gopoh dari ruangan kepala sekolah. Jon dan Lukman berpandangan, tak pernah mereka lihat wanita itu sebelumnya.
Jam demi jam berlalu dengan cepat.
“naikmi sini, mbak..! sa antar sampe depan..! jam begini memang susahmi ojek..!” Lukman menawarkan tumpangan pada wanita yang dilihatnya siang tadi. Naluri gentlemen-nya bekerja demi melihat wanita itu gelisah berpanas-panasan di pinggir jalan tak jauh dari pagar sekolah. Sekolah sudah bubar sejak sejam yang lalu. Suasana mulai lengang.
“naikmi sini, mbak..! sa antar sampe depan..! jam begini memang susahmi ojek..!” Lukman menawarkan tumpangan pada wanita yang dilihatnya siang tadi. Naluri gentlemen-nya bekerja demi melihat wanita itu gelisah berpanas-panasan di pinggir jalan tak jauh dari pagar sekolah. Sekolah sudah bubar sejak sejam yang lalu. Suasana mulai lengang.
“makasih, om..!” si wanita awalnya ragu-ragu, tapi sepertinya
terjebak dalam situasi yang tak memungkinkan untuk menolak. Terik
matahari mulai menyengat.
“Hepuuu, jangan panggil Om..!” protes Lukman
“Hehe, maaf pale Mas..!” si wanita memperbaiki duduknya di boncengan. Sebuah buntalan besar dipangkunya, sekedar memberi jarak.
“Barang apa ini..?” tanya Lukman.
“Oo, ini. Saya habis pasang horden di ruangannya kepala sekolahta..! Besok di ruangan guru juga..! Baru besoknya di ruangan-ruangan kelas..”
“Oooo…”
“Hepuuu, jangan panggil Om..!” protes Lukman
“Hehe, maaf pale Mas..!” si wanita memperbaiki duduknya di boncengan. Sebuah buntalan besar dipangkunya, sekedar memberi jarak.
“Barang apa ini..?” tanya Lukman.
“Oo, ini. Saya habis pasang horden di ruangannya kepala sekolahta..! Besok di ruangan guru juga..! Baru besoknya di ruangan-ruangan kelas..”
“Oooo…”
Motor bergerak pelan. Agak lama keduanya terdiam, hingga si wanita
memberanikan diri bertanya dengan pertanyaan ekstrim. “Agak genit-genit
juga orangnya itu kepala sekolah di?”
Lukman terkesiap. “kenapakah..?”
“Hehe.. tidak ji, Mas. Cuma tadi dia minta nomor hapeku, katanya kapan-kapan dia mau traktir saya. Sa agak takut-takut bela, soalnya lain-lain matanya kalo dia menatap”
Berdesir darah Lukman mendengarnya. “janganmi kita dekat-dekat lagi Mbak. Mokidi memang itu orang..!”
“Hahaha..” berderai renyah tawa si wanita.
Lukman terkesiap. “kenapakah..?”
“Hehe.. tidak ji, Mas. Cuma tadi dia minta nomor hapeku, katanya kapan-kapan dia mau traktir saya. Sa agak takut-takut bela, soalnya lain-lain matanya kalo dia menatap”
Berdesir darah Lukman mendengarnya. “janganmi kita dekat-dekat lagi Mbak. Mokidi memang itu orang..!”
“Hahaha..” berderai renyah tawa si wanita.
***
Tak terasa sudah tiga hari Lukman jadi “tukang ojek tetap” bagi
Besse, si wanita pemasang horden. Proyek pengadaan kain horden di
sekolah membuahkan keakraban bagi keduanya.
Besse, wanita muda yang belakangan diketahui berstatus janda ini
sudah tak canggung lagi jika berboncengan dengan Lukman, toh pikirnya
tak ada apa-apa di antara mereka. Namun lain halnya dengan Lukman. Ia
begitu agresif. Tak jarang ia menyambangi Besse di ruang guru, tempat
Besse berpeluh-peluh memasang kancing-kancing horden.
Besse seolah menjadi gairah baru bagi hari-hari Lukman di sekolah.
Gairah yang sudah sejak lama tak ditemuinya di rumah, tergerus oleh
peliknya konflik rumah tangga.
Sinyal-sinyal terlarang itu pada akhirnya berjalan tanpa sanggup ia hentikan. Dan ia pun menikmatinya.
Sinyal-sinyal terlarang itu pada akhirnya berjalan tanpa sanggup ia hentikan. Dan ia pun menikmatinya.
“Hati-hati, Man..! ingat anak istri di rumah..!” bisik Jon saat berpapasan di kantin.
“Tenang mi, ces..! TTM ji ini..! Hahaha..!”
Kekhawatiran Jon akhirnya terbukti. Kabar Lukman sering sering membonceng wanita lain saat pulang sekolah, sampai juga ke telinga Tina, istrinya. Pertengkaran hebat pun tak terelakkan. Lukman jadi bulan-bulanan pukulan istrinya. Wajahnya lebam, tubuhnya penuh cakaran. Bentuk tak lumrah dari sebuah KDRT.
“Maafkan saya, Mas..! ini semua gara-gara saya..!” ucap Besse prihatin. Lukman hanya tersenyum miris.
“Tenang mi, ces..! TTM ji ini..! Hahaha..!”
Kekhawatiran Jon akhirnya terbukti. Kabar Lukman sering sering membonceng wanita lain saat pulang sekolah, sampai juga ke telinga Tina, istrinya. Pertengkaran hebat pun tak terelakkan. Lukman jadi bulan-bulanan pukulan istrinya. Wajahnya lebam, tubuhnya penuh cakaran. Bentuk tak lumrah dari sebuah KDRT.
“Maafkan saya, Mas..! ini semua gara-gara saya..!” ucap Besse prihatin. Lukman hanya tersenyum miris.
Proyek horden sekolah sudah seminggu berakhir, tapi rupanya cerita
romansa baru dimulai di antara keduanya. Dari sekadar prihatin, berubah
menjadi benih-benih asmara. Apa lacur gayung bersambut. Besse pun mulai
tertarik pada kepedulian, kesabaran, dan keteguhan prinsip hidup Lukman.
Hingga akhirnya Besse merasa nyaman menceritakan seluruh masalah
pribadinya pada Lukman. Nyaris tak ada yang tersisa.
“Suamiku dulu orang Tator, kita menikah muda” cerita Besse pada suatu sore yang damai.
“Keluarga besarku di Bulukumba ndada yang setuju, karena awalnya kita beda agama. Tapi akhirnya sa bisa yakinkan mamaku tentang pilihanku” lanjutnya.
“Keluarga besarku di Bulukumba ndada yang setuju, karena awalnya kita beda agama. Tapi akhirnya sa bisa yakinkan mamaku tentang pilihanku” lanjutnya.
“Nanti sudah punya dua orang anak, baru sa menyesal tidak turuti
kata-katanya mamaku. Saya baru tau sifat aslinya suamiku yang suka
memukul”. Besse terdiam sejenak, menerawang, mencoba mengungkit kembali
kisah getirnya.
“Akhirnya kita cerai. Anakku yang tua diambil sama bapaknya, sekarang tinggal di Rantepao, sudah kelas tiga SD.”
“Kalo adeknya..?” Lukman menyela cerita. Air muka Besse berubah.
“Adeknya meninggal, kena muntaber waktu umur dua tahun”. jawabnya pelan. Lukman tersentak sejenak, lalu turut larut merasakan kesedihan Besse.
“Kalo adeknya..?” Lukman menyela cerita. Air muka Besse berubah.
“Adeknya meninggal, kena muntaber waktu umur dua tahun”. jawabnya pelan. Lukman tersentak sejenak, lalu turut larut merasakan kesedihan Besse.
“Waktu itu sa telpon bapaknya di Rantepao, sa kabari, trus saminta
dikirimkan uang bantu-bantu biaya pemakaman. Eeh bukannya dikasih, malah
sadimaki-maki, katanya tidak becus rawat anak.” bergetar suara Besse
mengisahkan, dengan air mata yang mulai menumpuk pada pelupuk matanya.
“Dia bilang ndadami uangnya, padahal satu minggu kemudian dia bikin acara rambu solok neneknya yang meninggal. Ternyata dia lebih sayang sama neneknya daripada anakanya”
“Sudahmi.. janganmi diingat-ingat lagi” Lukman mencoba menetralisir keadaan. Besse tersenyum, seraya menyeka air matanya.
“Dia bilang ndadami uangnya, padahal satu minggu kemudian dia bikin acara rambu solok neneknya yang meninggal. Ternyata dia lebih sayang sama neneknya daripada anakanya”
“Sudahmi.. janganmi diingat-ingat lagi” Lukman mencoba menetralisir keadaan. Besse tersenyum, seraya menyeka air matanya.
“iya, sa sudah cukup bahagia dengan keadaanku sekarang. Alhamdulillah
bisnis jahit hordenku sudah lebih dari cukupi untuk hidup. Relasi sudah
mulai lumayan” pungkasnya.
“betul itu, sa dukung..! apalagi kalo ko mau ikut juga bisnis MLM-ku. Pasti tambah banyak relasimu..” sela Lukman, sambil mulai mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Tapi buru-buru dicegah Besse. “eeh, sorry.. janganmi ko prospek saya kasian. Sa nda tertarik. Hahaha..”
“betul itu, sa dukung..! apalagi kalo ko mau ikut juga bisnis MLM-ku. Pasti tambah banyak relasimu..” sela Lukman, sambil mulai mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Tapi buru-buru dicegah Besse. “eeh, sorry.. janganmi ko prospek saya kasian. Sa nda tertarik. Hahaha..”
***
Gempar lingkungan rumah kontrakan Lukman. Seperti petir di siang
bolong. Pulang dari sekolah, ia dihadapkan pemandangan mengejutkan.
Istrinya kuyu dirubung warga di teras rumah. Sementara seorang laki-laki
tampak lunglai dengan wajah babak belur mengenaskan.
Tina, istri Lukman tertangkap basah memasukkan laki-laki lain ke
dalam rumah, dan melakukan perbuatan tak senonoh. Kejadian ini
sebenarnya bukan yang pertama kali dan sudah sangat meresahkan warga,
tapi hanya mentok pada batas buah bibir. Baru kali ini semua terbukti.
Lukman tak bisa berbuat apa-apa. Hanya air mata yang bergulir dari
pipinya ketika istrinya bersimpuh sesenggukan di kakinya. Ia dan kedua
pasangan mesum itu digiring ke Polsek untuk penyelesaian.
“Malang sekali nasibmu, teman..! tidak sesuai dengan namamu..! karena
kalo bahasa Inggris, Lukman itu artinya lelaki beruntung. Hehehe..!”
Jon mencoba menanggapi permasalahan Lukman dengan canda, seperti biasa.
“Iya, saya juga baru tau, ternyata sudah satu tahun lebih istriku dia
selingkuh dengan mantan pacarnya. Betul-betul sa nda’ sadar..!” Lukman
menerawang. “ternyata kalo sa pergi mengajar, domorang suka ambil
kesempatan mekopu-kopu di rumah..!”
“Bagaimana ko mau sadar, kalo ko sibuk cari jaringan dengan MLM-mu. Hehehe..!” canda Jon lagi.”Jadi manami sekarang istrimu..?”
“Sa sudah kasih pulang baek-baek di rumah orangtuanya di Tinanggea kemarin sore” jawab Lukman lirih.
“Trus, apami rencanamu selanjutnya..?”
“Ndataumi. Kayaknya sa mau minta izin dulu nda masuk mengajar besok, sa mau ke Pengadilan agama urus surat cerai”
“hah..? cepat sekali, kunae..! ko yakin ji kah..?”
Lukman hanya mengangguk lesu.
“Bagaimana ko mau sadar, kalo ko sibuk cari jaringan dengan MLM-mu. Hehehe..!” canda Jon lagi.”Jadi manami sekarang istrimu..?”
“Sa sudah kasih pulang baek-baek di rumah orangtuanya di Tinanggea kemarin sore” jawab Lukman lirih.
“Trus, apami rencanamu selanjutnya..?”
“Ndataumi. Kayaknya sa mau minta izin dulu nda masuk mengajar besok, sa mau ke Pengadilan agama urus surat cerai”
“hah..? cepat sekali, kunae..! ko yakin ji kah..?”
Lukman hanya mengangguk lesu.
***
Di bawah temaram sinar bulan purnama tak jauh dari jembatan Pohara,
Lukman menghentikan laju sepeda motornya. Seorang wanita paruh baya
penjaja sate pokea berjalan mendekat, merespon lambaian tangan Lukman.
Wanita muda di boncengannya tampak sumringah.
Tak terasa, lima bulan sudah Lukman berstatus duda. Ia resmi cerai
dengan istrinya setelah pengadilan agama menjatuhkan putusan. Hak
pengasuhan anak pun jatuh ke tangannya.
Besse, wanita di boncengannya saat ini, baru saja diperkenalkan pada
keluarga besarnya di Wawotobi. Seharian mereka menghabiskan hari berdua
di tanah Konawe. Menikmati jagung masak di Puday, menghirup aroma sawah
yang terbentang di sepanjang Lambuya, mampir sebentar di bendungan,
hingga melepaskan penat di kehangatan air panas Sonai.
“Malam ini, bulan jadi saksi, sa lamarko jadi istriku. Ko terima
ji..?” ujarnya tiba-tiba sambil menyodorkan sepiring gogos dan sate
pokea.
Berbinar mata Besse mendengarnya. Tawanya berderai kemudian. Sebuah
anggukan kecil jadi isyarat. Lukman pun menggamit tangan pujaan hatinya,
kembali menyalakan mesin motor.
“Eeh, siapa yang bayar ini..?” wanita penjaja sate pokea protes ketika dilihatnya gelagat Lukman yang akan beranjak pergi.
“Oh iya di? Maaf, sa lupa. Hehe..” cengengesan ia merogoh dompet. “berapa semua..?”
“lima ratus satu tusuk..!”
“Beli sepuluh, dapat bonus satu to..?” tanyanya kemudian. Wanita penjajak sate tampak merengut.
“dasar orang MLM..!” hardik Besse, mencubit pinggang kekasihnya mesra.
“Eeh, siapa yang bayar ini..?” wanita penjaja sate pokea protes ketika dilihatnya gelagat Lukman yang akan beranjak pergi.
“Oh iya di? Maaf, sa lupa. Hehe..” cengengesan ia merogoh dompet. “berapa semua..?”
“lima ratus satu tusuk..!”
“Beli sepuluh, dapat bonus satu to..?” tanyanya kemudian. Wanita penjajak sate tampak merengut.
“dasar orang MLM..!” hardik Besse, mencubit pinggang kekasihnya mesra.
penulis_
Arham Rasyid, cerpenis lahir di Kendari. Penulis dua buah novel remaja terbitan Gramedia Pustaka Utama, dan dua buah buku antologi cerpen terbitan Indie Publishing. Saat ini aktif sebagai penulis virtual (blogger). Tulisan-tulisannya dapat dibaca di www.facebook.com/arhamkendari
Arham Rasyid, cerpenis lahir di Kendari. Penulis dua buah novel remaja terbitan Gramedia Pustaka Utama, dan dua buah buku antologi cerpen terbitan Indie Publishing. Saat ini aktif sebagai penulis virtual (blogger). Tulisan-tulisannya dapat dibaca di www.facebook.com/arhamkendari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar