POKEA-POKEA CINTA _POKEA-POKEA CINTA_POKEA-POKEA CINTA_POKEA-POKEA CINTA_POKEA-POKEA CINTA

Sabtu, 19 Mei 2012

Rekam Jejak Suku Taaluki di Kabupaten Muna

Taaluki, Suku Baru di Pedalaman Muna

Kabupaten Muna didiami beragam etnis. Salah satunya adalah suku Taaluki, yang berdiam di Desa Maligano, Kecamatan Maligano. Suku Taaluki memiliki tradisi dan bahasa yang berbeda dengan bahasa daerah manapun yang ada di Sultra. Bahasa Daerah Suku Taaluki jauh berbeda dengan Muna, Wolio, Tolaki, Kulisusu, Wawonii, Moronene maupun Bugis. Lalu, seperti apa bahasa daerahnya? Konon, suku Taaluki berasal dari Sulawesi Tengah. Leluhur mereka pernah memimpin Kesultanan Buton. Tiga generasi hidup di lingkungan Keraton Buton, mereka diusir dari lingkungan keraton oleh karena membangkang.

Kecamatan Maligano, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara terletak di bagian utara pulau Buton. Wilayah Maligano terpisahkan oleh lautan dengan Raha, ibukota Kabuapten Muna. Secara geografis masih satu daratan dengan Kabupaten Buton dan Buton Utara. Kecamatan Maligano terdiri dari enam desa, salah satunya adalah Desa Maligano.
   
Untuk mencapai Desa Maligano dari Kabupaten Muna, harus menggunakan kapal boat tradisional (orang lokal menyebut katinting). Lama perjalanan dari pelabuhan Laino di Kota Raha (ibukota Kabupaten Muna) satu jam setengah. Alternatif lain lewat darat via Baubau, Buton terus ke Butur selanjutnya masuk Maligano di Muna. dari Buton lalu menyisir jalan darat yang memakan waktu lebih lama dibanding via transportasi laut. Via Baubau-Buton-Butur kira-kira menghabiskan waktu satu hari penuh, sedangkan via pelabuhan Laino Raha sekitar 1,5 jam.
   
Desa Maligano dihuni oleh mayoritas suku Taaluki. Konon ceritanya mereka adalah penghuni pertama Maligano. Untuk mengorek informasi soal keberadaan suku Taaluki, cukup sulit. Beberapa narasumber yang ditemui koran ini, hampir tidak tahu sama sekali cerita asal muasala mereka sampai di Maligano. Setelah bertanya ke sana-kemari, koran ini dipertemukan dengan dua pria Taaluki bernama Samudi dan Aris Baaya. Samudi adalah guru sejarah di salah satu sekolah di Maligano dan Aris Baaya adalah Kepala Desa Maligano.
   
Kedua orang tersebut memiliki cerita yang berbeda soal keberadaan Suku Taaluki di Maligano. Kesamaan cerita mereka bahwa suku Taaluki berasal dari Kaili dan terusir dari wilayah Kesultanan Buton beratus tahun lalu. "Suku Taaluki awalnya berdiam di Buton," kata Samudi.
   
Suku Taaluki merupakan bagian dari etnis Buton. Meski bagian dari etnis Buton, Taaluki memiliki bahasa yang tidak sama dengan Buton, disebut bahasa Taluk. "Kalau budaya dan tradisi ada kemiripan," timpalnya.
   
Menurut cerita yang Ia dengar dari orang tuanya,  suku Taaluki merupakan pendatang dari Sulawesi Tengah, tepatnya wilayah Kaili (Bungku). Kala itu mereka meninggalkan kampung halaman (kaili, red) menuju Buton, karena dilanda perang. "Entah dengan suku apa perangnya," kata pria bercambang itu. Bagi yang kalah perang,  dalam bentuk kelompok meninggalkan Kaili menuju ke Buton. Nama Taaluki sendiri memiliki arti orang yang kalah atau yang ditaklukan lawan. "Makanya disebut suku Taaluki," sebutnya.

   
Di Buton mereka berdiam di Desa Wakalambe, yang terletak di Kecamatan Kapuntori. Latar belakang sehingga sampai di Maligano, karena tidak mau tunduk dengan perintah Sultan Buton, juga karena saat itu di Wakalambe terdapat wabah penyakit.
  
Tahun 1906, orang Taaluki yang tidak tunduk terhadap perintah Sultan Buton bersama dengan suku Koroni menyusuri daratan Buton. "Taaluki dan Koroni memiliki kesamaan bahasa," tuturnya. Tiba di daerah Koroni, mereka menemukan kali dan mandi di tempat itu. Lokasi tersebut kemudian dikenal dengan nama Desa Lakoroni, Kabupaten Muna. "La" artinya kali. Suku Koroni kemudian berdiam di wilayah itu.
   
Sementara orang Taaluki kembali melanjutkan perjalanan menyusuri daratan Buton. Mereka kemudian menemukan kali besar yang diberi nama Laeya. "Laeya artinya kali besar," kata Samudi. Pertimbangan wilayah itu tidak cocok dijadikan perkampungkan, mereka kembali melanjutkan perjalanan sampai ke kali Motewe (Maligano,red). Disebut kali motewe karena airnya tawar. "Maligano dulu namanya kampung Motewe. Nanti setelah kemerdekaan diganti bernama Maligano," ceritanya.
  
Di kampung Motewe sudah didiami oleh penduduk, namun jumlahnya tidak banyak. Suku Taaluki kemudian membangun perkampungan dan menjadi warga mayoritas di desa tersebut sampai saat ini.
   
Cerita Aris Baaya, Kades Maligano yang berasal dari Suku Taaluki, lain lagi. Versi dia, keberadaan suku Taaluki bermula dari pria La Baluwu yang berasal dari Kaili yang berkelana sampai ke Buton. La Baluwu kemudian menikahi dengan putri keluarga kesultanan Buton bernama Bulawambona. Dari keturunan pasangan tersebut terbentuk satu etnis yang dikenal suku Taaluki.
   
Keturunan dari La Baluwu yang menetap di lingkungan keraton Buton, tidak tunduk terhadap perintah Sultan Buton. Mereka ingin merebut kekuasaan dengan pedang besar yang disebut dengan "Ta". Taluki memiliki arti menaklukan keraton Buton dengan parang besar. Upaya itu tidak berhasil, sehingga keturunan La Baluwu diusir dari lingkungan keraton dan "diungsikan" di Desa Wakalambe dan sebahagian lagi menyusuri daratan Buton sampai ke Maligano. "Sebanyak tiga generasi suku Taaluki ini menetap di lingkungan keraton Buton. Setelah tiga generasi, Taaluki diusir dari keraton menuju Desa Wakalambe dan Maligano. Saya termasuk generasi ketiga atau keempat di Maligano. Kalau dihitung sejak dari Keraton Buton, kami generasi ke enam atau ketujuh," begitu cerita Aris Baaya.
  
Di Maligano menurut Aris Baaya,  orang Taaluki merupakan yang pertama mendiami wilayah yang dulu bernama kampung Motewe.  "Di Maligano, saat ini kami sudah generasi ke enam," ungkapnya. Sehingga cerita tentang keberadaan mereka, generasi diatasnya sudah tidak tahu menahu lagi. "Sudah sulit untuk mendapatkan orang yang tahu cerita keberadaan kami di Maligano," sambungnya.
   
Begitupula Samudi. Ia menyarankan, untuk mendapatkan cerita tentang keberadaan suku Taaluki, agar berkunjung ke Desa Wakalambe, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton. "Disana ada orang tua kami, yang mungkin lebih paham tentang latar belakang keberadaan Taaluki di Buton dan Muna," saranya. Menurut Aris Baaya, suku Taaluki di Maligano sekitar 300 KK sedangkan di Desa Wakalambe sekitar 60 KK.
 
Di Sungai Motewe Membangun Peradaban

Setelah berjalan menyusuri daratan Buton, suku Taaluki tiba di kali berair tawar yang mereka beri nama kali Motewe. Orang Taaluki kemudian menetap dan membangun pemukiman di wilayah tersebut. Kini di kampung yang berganti nama menjadi Maligano itu,  keturunan suku Taaluki sudah masuk generasi ke enam.

Ketika tiba di kali Motewe di tahun 1906, kondisi alam masih hutan belantara. Bukan perkara mudah untuk bisa bertahan hidup di alam yang masih liar. Kelompok suku Taaluki kemudian membangun perkampungan, yang awalnya di sekitar kali  Motewe. "Diberi nama sungai Motewe, karena airnya tawar. "Motewe" dalam bahasa Taaluki berarti tawar. Dari nama sungai tersebut, daerah tempat suku Taaluki berdiam disebut kampung Motewe," tutur Samudi.

Pergantian nama kampung Motewe menjadi Maligano dilakukan setelah Indonesia merdeka. Nama Maligano sendiri, menurut cerita Samudi, diambil dari kisah perjalanan tokoh spritual dari Arab yang datang menyebarkan agama Islam. "Namanya Syeh Abdurrahman," sebutnya. Konon, ada yang melihat Syeh Abdurrahman melakukan perjalanan dari Motewe ke Buton dengan menggunakan perahu. Dua kali mendayung perahu, sudah sampai ke Buton. Masyarakat Taaluki menyebutnya Maligano artinya yang tercepat atau dalam bahasa Muna "merimbano".

Saat keluar dari lingkungan keraton Buton menuju Desa Wakalambe dan Maligano suku Taaluki sudah menganut agama Islam.

Sebelum membangun perkampungan di sekitar kali Motewe,  suku Taaluki menggelar ritual mengusir roh jahat. Ritual yang dilakukan adalah tahlilan (dzikir) keliling kampung selama empat hari empat malam. "Dimulai dari hari Senin dan berakhir malam Jum'at. Dzikir keliling ditutup dengan mandi di kali Motewe secara massal," ceritanya.

Mandi di kali memiliki makna membersihkan diri dari roh jahat. Sampai saat ini, orang Taaluki masih mempertahankan tradisi itu. Setiap kali terjadi bencana  seperti wabah penyakit atau bencana lainnya, dilakukan dzikir keliling atau tahlilan di masjid selama empat hari.

Setelah membersihkan kampung dari roh jahat, suku Taaluki kemudian membuka lahan perkebunan, ada juga yang menjadi nelayan untuk mempertahankan hidup. "Di sini warga Taaluki dominan berkebun dan menjadi nelayan. Nelayan karena tinggal di pesisir laut," ujar pria bercambang tersebut.
Untuk membuka lahan baru atau menyambut pergantian musim barat dan timur suku Taaluki memiliki tradisi sendiri. Kata Samudi, ritual membuka lahan baru sama dengan suku Muna, hanya yang membedakan soal bahasa mantra. "Kita menyebutnya bhatata," sebutnya. Maksud dilakukan ritual agar hasil panen melimpah. Tanaman yang ditanam kala itu, umbi-umbian serta jagung.

Begituhalnya saat pergantian musim dari musim barat ke musim timur, orang Taaluki menggelar dzikir keliling kampung. Maknanya membersihkan kampung dari roh jahat. Ritual tersebut kini sudah memudar. Kecuali ritual membuka lahan baru, yang sampai hari ini masih dipertahankan.

Dalam setiap ritual yang dilakukan, dipimpin oleh imam yang diangkat oleh warga Taaluki. Imam ini yang kemudian, menjadi panutan masyarakat. Selain imam, dulu kampung Motewe dipimpin oleh Bhonto atau kepala kampung. Selain Bhonto masih ada lagi yang dituakan yang disebut Mokole.  "Mokole itu kalau di Buton, statusnya seperti Lakina," sambung Aris Baaya, Kades Maligano.

Bahasa Mirip Tolaki, Tradisi Mirip Muna
Keturunan suku Taaluki di Maligano, Kabupaten Muna semakin berkembang. Kini ada sekitar 200 KK suku Taaluki asli di kampung yang dulu bernama Motewe tersebut. Jumlah tersebut makin bertambah, bila dihitung dengan keturunan suku Taaluki yang berasal dari perkawinan campuran. Di sisi lain dengan makin berkembang pesatnya suku Taaluki, tradisi dan budaya mereka ikut tergerus zaman.
Awaluddin Usa, Raha

Dalam kehidupan masa lalu suku Taaluki, Mokole, Bhonto dan Iman memiliki peranan besar dalam kehidupan masyarakat. Ketiga orang yang menempati struktur tertinggi dalam masyarakat Taaluki mengatur dan menjadi panutan masyarakat. "Setiap keputusan senantiasa melalui pertimbangan Mokole, Bhonto dan Iman," tutur Aris Baaya.
   
Untuk membedakan ketiga orang yang dalam struktur suku Taaluki menempati derajat tinggi, dilihat dari rumahnya. Kata Samudi, bila didepan rumah terdapat teras yang disebut Galampa, maka itu adalah rumah para tetua adat suku Taaluki. Teras rumah tersebut menjadi tempat melayani masyarakat, mengambil keputusan atau menyelesaikan masalah di kampung saat itu.
  
Kemudian dalam strata suku Taaluki, memiliki kesamaan dengan Muna. Dalam strata mereka terdapat juga kaomu dan walaka. "Suku kami hanya mengenal dua strata kaomu dan walaka," ujar Samudi. Mokole masuk golongan Kaomu. Dalam penamaan pun sama, menggunakan La Ode untuk laki-laki dan Wa Ode untuk perempuan.
   
Seiring perkembangan zaman, ketiga jabatan tersebut dalam struktur Suku Taluki sudah tidak ada lagi. "Sebutan Bhonto, Mokole dan Imam, hanya bertahan sampai generasi ke empat Taluki  di Maligano," sambung Aris Baaya lagi.  Pria yang saat ini menjabat sebagai Kades Maligano itu dan merupakan keturunan generasi ke enam Suku Taaluki, tidak tahu jawaban pastinya. Jawaban rasional yang diberikan, generasi muda Taaluki yang enggan meneruskan tradisi tersebut atau pengaruh dari faham demokrasi yang sudah masuk di desanya.
  
Begituhalnya tradisi suku Taaluki pun perlahan ikut memudar. Tradisi dzikir keliling kampung yang biasa dilakukan saat pergantian musim, memang masih dipertahankan. Namun konteksnya kini berbeda. "Kita hanya tahlilan saja di masjid," ungkap Aris Baaya. Mandi di kali Motewe usai berdzikir, kini sudah jarang dilakukan.
   
Yang tersisa dari tradisi suku Taaluki di Maligano, menurut pria yang hampir satu periode menjabat Kades tersebut, tradisi membuka lahan baru, adat perkawinan dan Taluk (bahasa daerah Taaluki). Membuka lahan baru tradisinya sama dengan suku Muna, yang membedakan adalah bahasa mantranya. "Mantranya kita menggunakan bahasa Taaluki," sebutnya.
   
Untuk tradisi perkawinanpun sudah terpengaruh dengan budaya Muna. Kalau dulu dalam perkawinan suku Taaluki, adatnya dihitung dengan uang ringgit, di Muna disebut boka. "Saat ini bisa menggunakan ringgit, bisa juga menggunakan boka," ujar Aris Baaya.
   
Yang membedakan, kata Samudi, soal tata cara pelamaran. Kalau orang Taaluki melamar disebut "mekapanga", dengan menyerahkan uang ringgit. Kalau uang ringgitnya dikembalikan, berarti lamaran ditolak. Begitu sebaliknya.
   
Untuk bahasa Taluk, masih menjadi bahasa komunikasi sehari-hari warga Taaluki. "Kalau sesama orang Taaluki, kita menggunakan bahasa Taluk. Kalau dengan orang Muna, kita gunakan bahasa Muna. Namun paling sering menggunakan bahasa Indonesia," ujarnya. Bahasa Taluk berbeda dengan bahasa Muna, Buton dan Bugis. Ia mencontohkan kalimat "mau kemana" lebih memiliki kesamaan dengan bahasa daerah Tolaki ketimbang Muna atau Buton. "Mau ke Mana" dalam bahasa Taluk "mantau lako", bahasa Tolaki "Mbe Lakoamu", bahasa Buton "yapau linka", bahasa Muna "okumala nehamai".
   
Saat ini keturunan generasi ke enam suku Taluki asli di Maligano, kata Kades Maligano, Aris Baaya, lebih kurang 200 KK. Kalau ditambah dengan keturanan dari perkawinan campuran ada sekitar 300 KK. Keturunan suku Taaluki yang berasal dari Maligano, sudah menyebar ke wilayah lain. Bahkan diantara mereka, menduduki jabatan struktural di pemerintahan. Namun paling dominan masyarakat Taaluki bekerja di kebun atau nelayan, ada juga sebagai pemecah batu di sungai Motewe.
 
 (http://www.kendarinews.com/news/index.php?option=com_content&task=view&id=23620&Itemid=35)

Kupinang Kau Dengan Pokea

Lukman terduduk lemas di pos satpam. Guru fisika yang sudah delapan tahun jadi honorer ini meradang. Lima belas menit yang lalu ia dipanggil menghadap di ruangan kepala sekolah, terkait laporan dari beberapa oknum guru akan aktifitasnya.
“Kenapa, Man..? masih pagi-pagi tapi mukamu sudah kusut sekali bela. Tadi malam tidak dapat jatah kah..? Hahaha..” Jon, satpam sekolah, mencoba menghibur, tapi tampaknya gagal. Lukman menghela nafas.
“Ndataumi itu la botak. Kenapa dia sentimen sekali sama saya..” jawabnya lirih.
“Merokok-merokok dulu pale, pemain band..!” tawar Jon, sembari menyodorkan sebungkus jisamsu. “Makasih ces, lamami sa berhenti” tepisnya.
Tawaran rokok itu walau tak bersambut setidaknya berhasil mencairkan suasana. Tak butuh waktu lama buat Lukman untuk meledakkan endapan kesalnya.
“Sa heran. Sa dilarang bisnis MLM..” curhat Lukman. “Katanya mengganggu aktifitas belajar mengajar, padahal sa tidak pernah ji memprospek kalo jam mengajar”. jelasnya kemudian berapi-api. Jon mendengarkan dengan seksama.
“Baru enjel sekali itu orang. Saya ji yang dia larang. Sementara bu Yuni yang bisnis Sopimartin tidak pernah disinggung-singgung. Malahan bu Kristin pernah dia bongkar jualan taperwer-nya di dalam ruang tata usaha. Adaji itu la botak, tapi dia lihat-lihat saja sambil senyum-senyum. Huh, dasar mati kiri..!” dengusnya.
“yang sa tidak bisa terima, masa’ dia suruh saya pilih, mau jadi guru atau penjual obat. Sakit hatiku pa’. Sa merasa terhina sekali” lanjutnya.
Jon menepuk-nepuk pundak Lukman, menenangkan. “Keras kehidupan, teman..! Ko sabar saja..!”
“Iyo, enakji kau bicara begitu. Karena ko sudah PNS..! Honorer kayak saya ini setengah mati kasian, kalo tidak pintar-pintar cari sampingan, apa kita mau kasih makan anaknya orang di rumah..?”
“Eee, jangan salah omong ko, teman..! Ko kirakah PNS tidak ada susahnya..? apalagi cuma satpam ji..!”
“Iyo, tapi kan enakji ada gaji tetap yang kotunggu-tunggu tiap bulan..!”
“Aleee.. kunae..! enak apanya..! gajiku minus, sudah dipotong adira, cicilan BTN, sama kasbon di koperasi..! Belum lagi utang nasi kuning di kantinnya mamanya Sege. Kalo tanggal tua begini bengkokmi mukanya itu orang tua kalo dia lihat mukaku. Hahahaeeee..” Jon tergelak, membongkar aibnya sendiri. Sebaris senyum toleransi ikut mengembang dari bibir Lukman.
“Eh, ngomong-ngomong betulkah itu dia bilang kepala sekolah ko menjual obat..? ngeri juga kau, teman..!”
“Bukan obat, ces..!” Lukman membela diri. “ini namanya suplemen makanan..!” seraya membuka resleting tasnya, memilah-milah isinya, lalu mengeluarkan setumpuk buku bergambar. Jon melirik, tampak di dalam tas beberapa botol plastik produk kesehatan herbal.
“Jadi begini, ces.. ” Lukman mulai memasang mimik wajah serius, sedikit melembutkan intonasi suara, mencoba menciptakan kesan wibawa. “Jadi sebenarnya, pikiran manusia itu mempengaruhi jalan hidup. Kalo kita berpikir positif, maka hasilnya akan positif. Tapi kalo kita berfikir negatif, hasilnya juga negatif”
Jon mengernyit, mulai membaca gelagat tak beres. Lukman membuka bukunya, terlihat gambar sebuah mobil sedan mengkilap.
“ko mau mobil begini..?” tunjuknya serius.
“Hahahaha…!” meledak tiba-tiba tawa Jon, tak ubahnya tawa artis Anggun C.Sasmi dalam sebuah iklan sampo. “jangko mimpi pagi-pagi, teman..!”
“Eeh, jangan salah ces..! sembilan puluh persen kesuksesan itu dimulai dari mimpi. Yang sepuluh persennya adalah teknis..!”
“Aleee.. sudahmi kunae ingkaaa..! jangan ko coba-coba prospek saya..! tidak mempan..!”
“nah, itu berarti kamu orangnya negatif, ces..! Karena belum apa-apa sudah berpikir negatif..!”
“Haha, terserahmi..! sa tidak mauji punya mobil. Makan ongkos..! Cukupmi saja motor supraku yang diongkosi karena sudah dua kali turun mesin..!”
“Hepuuu.. negatif betul kau, ces..!” Cibir Lukman. Debat kusir di pos satpam tampaknya akan memanjang, jika saja nyaringnya suara bel apel pagi tak menghentikan.
Sementara itu tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan gerak-gerik mereka dari balik jendela.
“Hmmm.. Apa lagi dia bikin itu orang di sana. Jangan-jangan dia jual obat lagi sama satpam. Sa sudah marahi ternyata ndada tobat-tobantnya..” gerutu si pengintip, seraya mengambil sisir kecil dari saku celana belakang, dan mulai menyisir helai demi helai rambutnya yang bisa dihitung dengan jari-jari tangan. Mirip hutan jati yang dihantam illegal logging.
***
Lukman naik pitam. Baru pulang dari mengajar, didapatinya Afgan, anak lelaki semata wayangnya bertengger di atas atap rumah kontrakannya, sambil menangis meraung-raung.
“Apa kobikin di situ, Bio..? Turunko..! kalo ko jatuh, picca kepalamu, uang lagi..!” Lukman melambaikan tangannya. “mana mamamu..?” tanyanya kemudian.
“imama dia pukul kakiku pake sapu sampe biru..!” adu anak usia lima tahun itu tersedu-sedu, enggan turun dari tempatnya.
“heh, kenapa bisaaa..?” Lukman bertanya sedikit berteriak. Tanpa menunggu jawaban ia tergopoh-gopoh masuk ke rumah. “Tinaaaa..! O’Tinaaaa..!!” teriaknya. Namun tak ditemuinya istrinya, hingga seluruh penjuru ruangan. Lukman pun berinisiatif menelpon.
“Hey ko dimana..! kenapa ko tinggalkan anakmu sendirian di rumah..!” semprotnya ketika panggilan tersambung.
“ko tanya sendiri anakmu kenapa satinggalkan..!” istrinya menjawab tak kalah ketus.
“Kenapakah dia..? Kopukul katanya..?” berondongnya lagi.
“Siapa suruh dia pukul anaknya tetangga gara-gara tidak dikasih pinjamkan sepeda..!”
Lukman terhenyak. Ia kehilangan kata-kata. Bagaimanapun ini semua tak lepas dari kesalahannya. Afgan sudah sekian lama merengek minta dibelikan sepeda sebagaimana anak-anak seusianya. Tapi hanya janji-janji yang bisa diberi bapaknya.
“Kenapa ko diam..? habis pulsamu, hae..!”
“Eeh, tidak ji..! Ko di manakah sekarang..?”
“Sa lewat tadi depan rumahnya Tanta Ati, sa dipanggil mosonggi..!
“okemi, jangko lama pale. Sa lapar ini..!”
“Ndadami nasi, ko masak indomi saja nah..?
“klik” Lukman mematikan henponnya dongkol. Berjalan gontai ia kembali keluar halaman.
“turunmi nak..! sa sudah marahimi mama..!” bujuknya kemudian.
“nda’mau..! sa ndamau turun..! belikanka dulu sepeda..!” sahut Afgan, keras kepala. Lukman menghela nafas panjang.
“Kalo kita nda belikanka sepeda, sa lompat dari atas sini..!” ancam Afgan lagi.
“lompatmi pale, nak..! kalo ko berani, sa belikanko motor..!” balas Lukman kesal sambil berjalan masuk ke rumah.
Di meja dapur didapatinya tudung saji tak berisi. Tak ada sebutir nasipun yang tersisa. Di meja ruang tamu sebenarnya ada pisang goreng keju sisa cemilan pagi yang sudah dingin dan mengeras, tapi hampir seluruh permukaan dirubung semut.
“betul-betul i’Tina. Dia lupa lagi kasih kapur semut. Bagaimana kasian kita mau makan ini” gerutunya, sembari mencabut-cabut satu persatu semut yang menempel di atas pisang goreng, meniup-niup sebentar, lalu menyantapnya getir. Afgan pun mengendap-endap turun dari atas atap.
Malam harinya, sisa mendung kekesalan masih menggelayut di wajah Lukman. Tidurnya membelakangi istri.
“Pah, kolihat tadi mobil Honda Jazz baru di depan rumahnya haji Dahlan..?” Tina, istrinya, membuka percakapan.
“Hmm.. sa tidak perhatikan..” Lukman merespon seadanya.
“dia ganti lagi tauwwa mobilnya itu orang tua. soalnya mobil lamanya sudah mulaimi tapo-tapo katanya..”
Lukman mendengus, menyadari tak pentingnya arah pembicaraan.
“Kalo Om Arif, tetangga samping rumah, kemarin dia ganti televisinya. Yang LCD pa, besarnya kayak bioskop. Soalnya televisi yang lama terlalu kecil dia bilang..” Tina terus mengoceh.
“Eeh, Pak Idrus juga pale” lanjutnya lagi. “yang tinggal di depan lorong itu, baru-baru dia ganti motornya. Motor satria lamanya terlalu boros bensin katanya”.
Lukman mulai sebal. “Ko tau Daeng Jara’, yang tinggal di dekat jalan raya..?” ia balas bertanya. Tina mengernyit.
“Minggu lalu Daeng Jara’ dia ganti istrinya karena terlalu cerewet..! mauko juga..?”
“bukkk..!!” sebuah hantaman bantal guling tak pelak mendarat keras di kepala Lukman.
***
“Sa pusing istriku bela, akhir-akhir ini tambah bergaya. Selera tinggi ekonomi lemah..!” curhat Lukman pada Jon, saat rehat makan di kantin belakang sekolah.
“Hati-hatiko, teman..! biasanya kalo istri mulai lain-lain, berarti ada apa-apanya itu” petuah Jon.
“Iyo di..? sa mulai curiga juga. Sering sekalimi dia bohongi saya”. Lukman menuntaskan kunyahan terakhirnya, lalu menenggak segelas air.
“Kemarin ndada di rumah, dia bilang sementara mosonggi di rumahnya tantenya” lanjutnya. “Eeh, ternyata dia ada di Salon dalam pasar sentral..!”
Jon tersenyum geli.
“iyo pa, sa kasih uang untuk beli beras, eeh dia pake bonding rambutnya..!”
“Hahaha.. Met nah..” Jon tergelak.
“Dia koleksi tas hermes dengan kawat gigi, sementara kita koleksi utang di mana-mana..”
Jon terbahak-bahak.
“Kalo begitu kaumi yang introspeksi, teman..! itu berarti ko tidak bisa penuhi kebutuhannya..!”
“Kebutuhan apanya..? dia ji yang ndamau sabar..! padahal kalo dia mau sabar, bisnis MLM-ku ini bisa menghasilkan mobil mewah dengan kepal pesiar..!
“Kapanmi itu katanya..? sudah lima tahun komorang kawin, motormu saja belum lunas cicilannya..! Hahaha..!”
“Nah, itumi kau ces, sama ji istriku. Selalu negatif..!”
“Dari kemarin bicaramu positif negatif terus, kayak tukang listrik saja..!”
Jon berjalan mendekati meja kasir, meja di mana seorang ibu paruh baya sibuk menghitung uang recehan.
“Kasih masuk di bon-ku nah Tanta.. Akhir bulan ini sakasih lunas semua..!”
“Hepuuu… bon terus..! Bulan depan sa tidak maumi hae, terima bon..!” gerutu ibu pemilik kantin.
“Jadi biar Bon Jovi, kita tidak terima juga..?”
“He’e.. siapa itu..?”
“Artis barat. Mirip-mirip ji mukaku Tanta..! hahaha..!” pemilik kantin pun melengos jijik.
Masih ada waktu sepuluh menit hingga waktu istirahat usai. Jon dan Lukman berjalan memasuki pagar sekolah. Langkah mereka terhenti ketika sesosok wanita muda tampak keluar tergopoh-gopoh dari ruangan kepala sekolah. Jon dan Lukman berpandangan, tak pernah mereka lihat wanita itu sebelumnya.
Jam demi jam berlalu dengan cepat.
“naikmi sini, mbak..! sa antar sampe depan..! jam begini memang susahmi ojek..!” Lukman menawarkan tumpangan pada wanita yang dilihatnya siang tadi. Naluri gentlemen-nya bekerja demi melihat wanita itu gelisah berpanas-panasan di pinggir jalan tak jauh dari pagar sekolah. Sekolah sudah bubar sejak sejam yang lalu. Suasana mulai lengang.
“makasih, om..!” si wanita awalnya ragu-ragu, tapi sepertinya terjebak dalam situasi yang tak memungkinkan untuk menolak. Terik matahari mulai menyengat.
“Hepuuu, jangan panggil Om..!” protes Lukman
“Hehe, maaf pale Mas..!” si wanita memperbaiki duduknya di boncengan. Sebuah buntalan besar dipangkunya, sekedar memberi jarak.
“Barang apa ini..?” tanya Lukman.
“Oo, ini. Saya habis pasang horden di ruangannya kepala sekolahta..! Besok di ruangan guru juga..! Baru besoknya di ruangan-ruangan kelas..”
“Oooo…”
Motor bergerak pelan. Agak lama keduanya terdiam, hingga si wanita memberanikan diri bertanya dengan pertanyaan ekstrim. “Agak genit-genit juga orangnya itu kepala sekolah di?”
Lukman terkesiap. “kenapakah..?”
“Hehe.. tidak ji, Mas. Cuma tadi dia minta nomor hapeku, katanya kapan-kapan dia mau traktir saya. Sa agak takut-takut bela, soalnya lain-lain matanya kalo dia menatap”
Berdesir darah Lukman mendengarnya. “janganmi kita dekat-dekat lagi Mbak. Mokidi memang itu orang..!”
“Hahaha..” berderai renyah tawa si wanita.
***
Tak terasa sudah tiga hari Lukman jadi “tukang ojek tetap” bagi Besse, si wanita pemasang horden. Proyek pengadaan kain horden di sekolah membuahkan keakraban bagi keduanya.
Besse, wanita muda yang belakangan diketahui berstatus janda ini sudah tak canggung lagi jika berboncengan dengan Lukman, toh pikirnya tak ada apa-apa di antara mereka. Namun lain halnya dengan Lukman. Ia begitu agresif. Tak jarang ia menyambangi Besse di ruang guru, tempat Besse berpeluh-peluh memasang kancing-kancing horden.
Besse seolah menjadi gairah baru bagi hari-hari Lukman di sekolah. Gairah yang sudah sejak lama tak ditemuinya di rumah, tergerus oleh peliknya konflik rumah tangga.
Sinyal-sinyal terlarang itu pada akhirnya berjalan tanpa sanggup ia hentikan. Dan ia pun menikmatinya.
“Hati-hati, Man..! ingat anak istri di rumah..!” bisik Jon saat berpapasan di kantin.
“Tenang mi, ces..! TTM ji ini..! Hahaha..!”
Kekhawatiran Jon akhirnya terbukti. Kabar Lukman sering sering membonceng wanita lain saat pulang sekolah, sampai juga ke telinga Tina, istrinya. Pertengkaran hebat pun tak terelakkan. Lukman jadi bulan-bulanan pukulan istrinya. Wajahnya lebam, tubuhnya penuh cakaran. Bentuk tak lumrah dari sebuah KDRT.
“Maafkan saya, Mas..! ini semua gara-gara saya..!” ucap Besse prihatin. Lukman hanya tersenyum miris.
Proyek horden sekolah sudah seminggu berakhir, tapi rupanya cerita romansa baru dimulai di antara keduanya. Dari sekadar prihatin, berubah menjadi benih-benih asmara. Apa lacur gayung bersambut. Besse pun mulai tertarik pada kepedulian, kesabaran, dan keteguhan prinsip hidup Lukman. Hingga akhirnya Besse merasa nyaman menceritakan seluruh masalah pribadinya pada Lukman. Nyaris tak ada yang tersisa.
“Suamiku dulu orang Tator, kita menikah muda” cerita Besse pada suatu sore yang damai.
“Keluarga besarku di Bulukumba ndada yang setuju, karena awalnya kita beda agama. Tapi akhirnya sa bisa yakinkan mamaku tentang pilihanku” lanjutnya.
“Nanti sudah punya dua orang anak, baru sa menyesal tidak turuti kata-katanya mamaku. Saya baru tau sifat aslinya suamiku yang suka memukul”. Besse terdiam sejenak, menerawang, mencoba mengungkit kembali kisah getirnya.
“Akhirnya kita cerai. Anakku yang tua diambil sama bapaknya, sekarang tinggal di Rantepao, sudah kelas tiga SD.”
“Kalo adeknya..?” Lukman menyela cerita. Air muka Besse berubah.
“Adeknya meninggal, kena muntaber waktu umur dua tahun”. jawabnya pelan. Lukman tersentak sejenak, lalu turut larut merasakan kesedihan Besse.
“Waktu itu sa telpon bapaknya di Rantepao, sa kabari, trus saminta dikirimkan uang bantu-bantu biaya pemakaman. Eeh bukannya dikasih, malah sadimaki-maki, katanya tidak becus rawat anak.” bergetar suara Besse mengisahkan, dengan air mata yang mulai menumpuk pada pelupuk matanya.
“Dia bilang ndadami uangnya, padahal satu minggu kemudian dia bikin acara rambu solok neneknya yang meninggal. Ternyata dia lebih sayang sama neneknya daripada anakanya”
“Sudahmi.. janganmi diingat-ingat lagi” Lukman mencoba menetralisir keadaan. Besse tersenyum, seraya menyeka air matanya.
“iya, sa sudah cukup bahagia dengan keadaanku sekarang. Alhamdulillah bisnis jahit hordenku sudah lebih dari cukupi untuk hidup. Relasi sudah mulai lumayan” pungkasnya.
“betul itu, sa dukung..! apalagi kalo ko mau ikut juga bisnis MLM-ku. Pasti tambah banyak relasimu..” sela Lukman, sambil mulai mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. Tapi buru-buru dicegah Besse. “eeh, sorry.. janganmi ko prospek saya kasian. Sa nda tertarik. Hahaha..”
***
Gempar lingkungan rumah kontrakan Lukman. Seperti petir di siang bolong. Pulang dari sekolah, ia dihadapkan pemandangan mengejutkan. Istrinya kuyu dirubung warga di teras rumah. Sementara seorang laki-laki tampak lunglai dengan wajah babak belur mengenaskan.
Tina, istri Lukman tertangkap basah memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah, dan melakukan perbuatan tak senonoh. Kejadian ini sebenarnya bukan yang pertama kali dan sudah sangat meresahkan warga, tapi hanya mentok pada batas buah bibir. Baru kali ini semua terbukti. Lukman tak bisa berbuat apa-apa. Hanya air mata yang bergulir dari pipinya ketika istrinya bersimpuh sesenggukan di kakinya. Ia dan kedua pasangan mesum itu digiring ke Polsek untuk penyelesaian.
“Malang sekali nasibmu, teman..! tidak sesuai dengan namamu..! karena kalo bahasa Inggris, Lukman itu artinya lelaki beruntung. Hehehe..!” Jon mencoba menanggapi permasalahan Lukman dengan canda, seperti biasa.
“Iya, saya juga baru tau, ternyata sudah satu tahun lebih istriku dia selingkuh dengan mantan pacarnya. Betul-betul sa nda’ sadar..!” Lukman menerawang. “ternyata kalo sa pergi mengajar, domorang suka ambil kesempatan mekopu-kopu di rumah..!”
“Bagaimana ko mau sadar, kalo ko sibuk cari jaringan dengan MLM-mu. Hehehe..!” canda Jon lagi.”Jadi manami sekarang istrimu..?”
“Sa sudah kasih pulang baek-baek di rumah orangtuanya di Tinanggea kemarin sore” jawab Lukman lirih.
“Trus, apami rencanamu selanjutnya..?”
“Ndataumi. Kayaknya sa mau minta izin dulu nda masuk mengajar besok, sa mau ke Pengadilan agama urus surat cerai”
“hah..? cepat sekali, kunae..! ko yakin ji kah..?”
Lukman hanya mengangguk lesu.
***
Di bawah temaram sinar bulan purnama tak jauh dari jembatan Pohara, Lukman menghentikan laju sepeda motornya. Seorang wanita paruh baya penjaja sate pokea berjalan mendekat, merespon lambaian tangan Lukman. Wanita muda di boncengannya tampak sumringah.
Tak terasa, lima bulan sudah Lukman berstatus duda. Ia resmi cerai dengan istrinya setelah pengadilan agama menjatuhkan putusan. Hak pengasuhan anak pun jatuh ke tangannya.
Besse, wanita di boncengannya saat ini, baru saja diperkenalkan pada keluarga besarnya di Wawotobi. Seharian mereka menghabiskan hari berdua di tanah Konawe. Menikmati jagung masak di Puday, menghirup aroma sawah yang terbentang di sepanjang Lambuya, mampir sebentar di bendungan, hingga melepaskan penat di kehangatan air panas Sonai.
“Malam ini, bulan jadi saksi, sa lamarko jadi istriku. Ko terima ji..?” ujarnya tiba-tiba sambil menyodorkan sepiring gogos dan sate pokea.
Berbinar mata Besse mendengarnya. Tawanya berderai kemudian. Sebuah anggukan kecil jadi isyarat. Lukman pun menggamit tangan pujaan hatinya, kembali menyalakan mesin motor.
“Eeh, siapa yang bayar ini..?” wanita penjaja sate pokea protes ketika dilihatnya gelagat Lukman yang akan beranjak pergi.
“Oh iya di? Maaf, sa lupa. Hehe..” cengengesan ia merogoh dompet. “berapa semua..?”
“lima ratus satu tusuk..!”
“Beli sepuluh, dapat bonus satu to..?” tanyanya kemudian. Wanita penjajak sate tampak merengut.
“dasar orang MLM..!” hardik Besse, mencubit pinggang kekasihnya mesra.






penulis_
Arham Rasyid, cerpenis lahir di Kendari. Penulis dua buah novel remaja terbitan Gramedia Pustaka Utama, dan dua buah buku antologi cerpen terbitan Indie Publishing. Saat ini aktif sebagai penulis virtual (blogger). Tulisan-tulisannya dapat dibaca di www.facebook.com/arhamkendari

10 Bandar Narkoba Paling Terkenal di Dunia

Berikut ini adalah bandar narkoba terhebat sepanjang jaman, mungkin dari merekalah kita mengenal narkoba.. check this out


1. Profile : Zhenli Ye Gon

diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Hingga kini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkobadari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkoba yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik, tempat pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Tentu saja hal ini bisa membuat para
Lahir 31 Januari 1963 di Shanghai dan pindah ke Mexico pada tahun 2002. Sebagai pemilik legal dari Unimed-Pharm Chem Mexico dia menjadi tersangka penyelundupan pseudoephedrine dari Asia ke Mexico. Ye Gon menjadi orang yang paling di cari di 180 negara, dia ditangkap oleh aparat AS pada Juli 2007 di Wheaton, Md. Jumlah uang yang di temukan oleh aparat keamananmexico di mansion pribadinya berjumlah $207 juta cash!!..

2. Profile : Frank Lucas

Frank Lucas adalah mantan dealer heroin dan bos kejahatan yang terorganisir dan beroperasi di Harlem pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Ia sangat dikenal sebagai perantara dalam perdagangan narkoba dan membeli langsung heroindari sumbernya di Golden Triangle. Lucas meng-klaim bahwa ia menyelundupkan heroin dengan menggunakan peti mati prajurit Amerika yang meninggal, namun klaim ini ditolak oleh rekannya dari Asia Selatan, Leslie "Ike" Atkinson.
"Karir"-nya didramatisasi di film American Gangster pada tahun 2007

3.Profile : Klaas Bruinsma

Dia adalah raja narkoba Belanda nomer satu, ditembak mati oleh anggota mafia dan juga mantan perwira polisi, Martin Hoogland. Klaas dikenal sebagai "De Lange" ( "jangkung satu") dan "De Dominee" ( "menteri") karena kebiasaannya berpakaian hitam dan mengajarorang lain

4. Profile : Ismael Zambada García

Dia adalah penyelundup narkoba yang paling dicari di Meksiko, dan masuk daftar Top 10 FBI Most Wanted dan daftar paling dicari DEA. Jaksa Mexico yang paling ng-top dalam perang terhadap narkoba, José Santiago Vasconcelos, menyebut Zambada "pengedar narkoba No 1″ dan mengatakan "the fugitive has become more powerful as his fellow kingpins have fallen, including one who was allegedly killed on Zambada's orders."

5. Profile : Manuel Noriega

Pada tahun 1989, presiden Ronald Reagen memerintahkan pasukan Amerika untuk menginvasi Panama dan menangkap pemimpin negara itu, jenderal Manuel Noriega, seorangyang dikenal sebagai diktator dan penyelundup narkoba internasional. Jendral Manuel Noriega ditangkap dan dibawa keAmerika Serikat untuk menjalani pengadilan atas kejahatan-kejahatannya.

6. Profile : Gilberto Rodriguez-Orejuela

Kartel Cali dibentuk pada awal 1970-an oleh jonathan almanza-Orejuela dan Jose Santacruz-Londono, dan berdiri secara diam-diam ditengah persaingannya dengan Kartel Medellín. Di tengah reputasi internasional Kartel Medellinyang terkenal dengan kebrutalan dan pembunuhan, Kartel Cali lebih memilih berpose sebagai pengusaha legal.
Perusahaan kriminal yang unik ini pada awalnya terlibat dalam pemalsuan dan penculikan dan secara bertahap berkembang menjadi basis penyelundupan kokaindari Peru dan Bolivia ke Kolombia untuk dikonversikan menjadi bubuk kokain.

7. Profile : Joaquín Guzmán Loera

Loera adalah kingpin narkoba paling ng-top di Mexico, diketahui setelah penangkapan pesaingnya, Cardenas Osiel dari Kartel Gulf. Dia menjadi terkenal karena menggunakan terowongan untuk menyelundupkan kokain dariMexico ke Amerika pada awal 1990-an. Pada tahun 1993, sebuah pengiriman 7,3 ton kokain ke Amerikayang disembunyikan dalam kaleng cabe disita di Tecate, California. Ia dipenjara pada tahun 1993, namun pada tahun 2001 dia berhasil lolos dan bersembunyi.

8. Profile : Osiel Cárdenas Guillén

Cárdenas adalah raja narkoba Meksiko dan merupakan pemimpin simbolis dari Kartel Gulf. Awalnya dia adalah seorang mekanik di Matamoros, ia memasuki Kartel Gulf dengan membantu Chava Gómez (capo pada saat itu) dan kemudian mengambil alih kendali kartel dengan membunuh Gómez, Karena aksinya ini Cárdenas mendapatkan julukan "el Mata Amigos" (The Friend-Killer).

Pada tahun 1999, di Matamoros, ia mengancam akan membunuh dua agen federal Amerika (satu dari FBI dan yang lainnya dari Badan Anti Narkoba) yang menangkap seorang informan Kartel Gulf. Cardenas dengan lebih dari selusin anak buahnya mengepung mobil agen tersebut di dekat pusat kota. Dalam ketegangan penyanderaan, para agen mengingatkan Cárdenas jika mereka dibunuh makaAmerika akan memburunya seumur hidup.
Setelah kejadian itu, FBI menawarkan $ 2 juta sebagai hadiah untuk penangkapan Cárdenas.

9. Profile : Amado Carrillo Fuentes

Sebagai penyelundup paling top di Meksiko, Carrillo menyelundupkan kokain ke Amerika 4x lebih banyak daripada yang lain. Ia dipanggil dengan sebutan El Señor de los Cielos ( "Lord of the Skies") karena menggunakan lebih dari 22 pesawat jet 727 swasta untuk mengangkut kokain yang berasal dari Kolombia ke bandar udara dan landasan lainnya di sekitarMexico termasuk Ciudad Juarez.

Pada bulan-bulan sebelum kematiannya, Lembaga Anti-Narkoba Amerika menggambarkan Carrillo sebagai pedagang narkoba yang paling kuat pada masanya, dan banyak analis menyatakan dengan laba penjualan yang lebih dari $ 25 miliar, membuat Amado menjadi salah satu orang terkaya dunia.

10. Profile : Pablo Escobar

Siapa yang tidak kenal Pablo Escobar? Pablo Emilio Escobar Gaviria adalah orang yang paling terkenal atas kekerasannya sebagai pimpinan dari Kartel Medellín. Escobar dibunuh oleh para "Search Bloc", resimen polisi khusus Kolombia yang menembak Escobar di atas atap di Kolombia pada tahun 1993. Pada saat ini Kartel Medellin hancur lebur. Setelah Escobar meninggal Kartel ini terfragmentasi.